Rabu, 06 Agustus 2014

puasa ditinjau dari berbagai aspek

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan disertai niat berpuasa.Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, Sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan berdasarkan niat.Puasa merupakan dasar praktis dan teoritis bagi sisi pengendalian diri untuk menjalankan perintah Allah.Allah SWT menetapkan kunci masuk surga terletak dalam masalah mengendalikan diri.Selain mengendalikan diri dari syahwat-syahwat yang diharamkan dan dorongan-dorongan terlarangnya, mengendalikan diri juga untuk menetapi akhlak yang agung dan baik.
Sejak dulu sampai sekarang, kita beranggapan bahwa puasa sesuai dengan ilmu pengetahuan.Banyak cabang ilmu pengetahuan yang mendung dan berkaitan erat dengan puasa.Mereka berani membuktikan dan menjadi sanksi atas kebenaran itu.
Puasa telah banyak dikupas, dikaji dan dibicarakan dalam forum-forum ilmiah oleh banyak sarjana di Barat dan di Timur, yang muslim dan yang non-muslim, melalui lisan maupun tulisan, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki masing-masing. Dalam makalah ini akan membahas puasa yang ditinjau dari segi ilmu sejarah, kesehatan, politik, pedadogi, psikologi, politik, pertahanan keamanan dan hukum.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Puasa?
2.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu sejarah?
3.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Psikologis?
4.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Pendidikan?
5.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Kesehatan?
6.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Politik?
7.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Pertahanan-Keamanan?
8.      Bagaimana pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Hukum?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk dapat memahami pengertian dari puasa
2.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Sejarah
3.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Psikologis
4.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Pendidikan
5.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Kesehatan
6.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Politik
7.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Pertahanan-Keamanan
8.      Untuk mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Hukum

D.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan. Metode ini digunakan dengan cara mengumpulkan sejumlah karya yang berkaitan dengan tema yang dibahas.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Puasa
Puasa dari segi bahasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kalf) dari sesuatu dengan kata lain yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun termasuk didalamnya tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang beretalian dengan agama).[1]
Arti puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum secara bahasa berarti ’menahan diri’(berpantang) dari suatuperbuatan.[2]
Puasa artinya menahan dan mencegah diri dari hal-hal yang mubah yaitu berup makan dan berhubungan dengan suami istri, dalam rangka Taqarub ilallah (mendekatkan diri pada Allah swt,). Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang, atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).[3]
Jadi, pengertian puasa menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum. Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh, dari terbit fajarsiddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib), dengan tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah.[4]
Ada juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara’, puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan kata lain, Puasa adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua (fajar shadiq) sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang muslim, berakal. Tidak sedang haid, dan tidak nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat; yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu, tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.[5]
Pengertian puasa banyak yang mendefinisikan, sedangkan menurut istilah banyak para para pakar yang memberikan definisi antara lain menurut Yusuf Qardawi bahwa puasa adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri dan semisal sehari penuh, dari terbitnya fajar siddiq hingga terbenamnya matahari, dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.[6]

B.     Puasa dari segi Ilmu Sejarah
Pendekatan sejarah adalah mengkaji Islam dari perspektif yang dikenal dalam ilmu-ilmu sejarah, dalam ini sebuah sejarah dipengaruhi oleh banyak factor, diantaranya sejarah dipengaruhi oleh masa dan cara berpikir di masa itu, dan sebagainya. Ketika diterapkan dalam mengkaji Islam, maka Islam bukan dillihat sebagai doktrin semata, tetapi dilihat secara historis yang terkena deretan hokum historis yang selalu berubah.
Awal munculnya puasa berawal dari sejarah turunnya ayat;
Artinya : “ Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini”. (Q.S. Maryam ; 26).
Sejarah munculnya puasa memang sejak dulu pra agama Islam, puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat umat manusia sebelum Islam. Hal ini dapat diketahui dari ayat 183 : S.2, Al-Baqarah; kama kutiba ‘alalladzina minqoblikum =sebagaimana telah ditetapkan atas orang-orang yang sebelum kamu”.
Istilah puasa pada era sekarang bukanlah hal yang asing, ataupun baru, orang-orang mesir kuno telah mengenal puasa 5000 tahun sebelum agama samawi diturunkan orang Yunani dan Romawi juga telah mengenal sebelum lahirnya agama Nasrani.
Proses pelaksanaan puasa itu nampak ketika ada larangan yang diberikan kepada Nabi Adam dan Dewi Hawa ketika berada di surge tidak boleh makan buah pohon huldi (nama pohon ini tidak dapat dipastikan karena tidak ada keterangan dari Al-Qur’an maupun Hadits)[7], yang berimbas keduanya diturunkan di dunia.
Praktek puasa mulai nampak sejak dulu, sebagai bukti diantaranya; Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Bersama umatnya, diperintahkan oleh Allah melakukan Puasa Ramadhan pada masa itu.
Walaupaun berkelanjutan dengan adanya perubahan model yang dilakukan pendeta-pendetanya, yaitu dengan menambah sepuluh hari,yang aslinya tiga puluh hari jadi empat puluh hari, adanya dalih nazar ketika ada kaumnya yang sakit parah (pendeta), apabila pendeta itu sembuh maka mereka akan menambahnya menjadi empat puluh hari, jadilah puasanya kaum nasrani menjadi empat puluh hari[8].
Nabi Muhammadpun melihat dari golongan orang yahudi yang melakukan puasa hari Assyura pada waktu golongan itu belum tersentuh dengan ajaran Islam, sehingga Nabi Muhammad menyuruh kepada umat Islam untuk melakukan hal yang sama.
Memang dalam pelaksanaan puasa sudah dilakukan sejak dulu[9], sebelum Islam datang, praktek puasa pada masa itu istilahnya juga difardlukan oleh Allah, sama difardlukannya ibadah puasa Ramadhan kepada umat Islam.
Fakta sejarah yang ditemui pada umat-umat dan bangsa-bangsa  terdahulu menunjukkan bahwa mereka melakukan puasa sebagai sebuah naluri fitrah tanpa standar dan ukuran yang jelas serta tegas. Tindakan para pendeta Yahudi dan Nasrani, misalnya, kewajiban puasa selama tiga puluh hari di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas, mereka merubah waktunya kemusim semi karena dirasa memberatkan. Puasa yang semula sehari mereka merubah menjadi sehari semalam, yaitu mulai matahari terbenam hingga matahari terbenam keesokannya[10]. Ini membuktikan betapa terjadi distorsi pada ia badah puasa oleh umat dan bangsa terdahulu.
Hal ini terbukti pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 35, Allah melarang Nabi Adam dan Dewi Hawa memakan buah pohon tertentu, sementara ada yang menamainya dengan nama nuah huldi, buah kekekalan, sebagaimana tersebut dalam dalam Al-Qur’an surah Thaha ayat 120, tetapi nama itu adalah nama yang diberikan setan. Inilah barang kali puasa dalam arti menahan diri dari hal-hal yang dilarang[11].

C.     Puasa ditinjau dari segi Psikologis
Puasa ditinjau dari segi psikologis mengandung arti dan manfaat yang besar bagi perkembangan jiwa, watak, tingkah laku dan kepribadian orang yang berpuasa. Dan yang diharapkan ialah sehatnya jiwa, rohani atau mental dari berbagai penyakit rohani sehingga terbentuklah mental well-being.
Manfaat puasa bagi perkembangan jiwa diantaranya yaitu:
1.      Puasa dapat menghilangkan sifat hewaniyah
Dalam melakukan ibadah puasa tidak hanya diwajibkan menahan lapar dan haus semata akan tetapi wajib pula menahan dan menutup segala atau segenap panca indera dari semacam pengaruh dan perbuatan maksiat dan harus mampu mencegah gerakan tubuh maupun bisikan bathin yang dapat menimbulkan pengaruh pada perbuatan jelek dan tidak terpuji.
2.      Menciptakan dan meningkatkan daya nalar.
Biasanya puasa sebagai penapis dan penyaring yang selanjutnya menentukan kadar ketakwaan seseorang (remaja). Mereka membentuk watak yang kukuh tegak dalam segala keadaan dan waktu.
Tidak gampang terperdaya dari terpaan dan godaan, lantaran menghujam direlung hati iman yang mapan. Malah yang hebat lagi puasa dapat membersihkan rohani dan meningkatkan nalar pikiran dari segala muskil kesukaran, serta merta mampu mengentas derajat kemanusiaan.
3.      Nalar pikiran ke Alam Illahi
Sudah banyak tokoh Islam atau para ulama’ yang mashur, cerdas lewat usahanya melalui puasa, acapkali membuahkan tulisan-tulisan yang berharga seperti Buya Hamka, beliau melakukan meditasinya lewat prosesi ibadah puasa, ada nalar yang mengarah kepada ruh yang ditiupkan, disini istilahnya alam ilahiyah
4.      Aku (Ego) lahir dan Aku bathin
Puasa merupakan intuisi disiplin moral dan fisik yang menerawang ke alam ilahi, adalah tujuan mulua manusia (remaja) mencapai tingkatan spiritual manusia yang paling tinggi .
5.      Egois menjadi Ikhlas
Dalam perjalanan yang lebih nyat, penyakit egosentris acapkali menggunakan golongan lain sebagai alat untuk mempengaruhi atau menguasai sesuatu menjadi objek.
6.      Puasa dan penyakit psikosomatik
Perlu adanya pembuktian adanya dari cabang ilmu kesehatan misalnya ilmu urai tubuh (anatomi), ilmu pengobatan (farmakologi), ilmu sebab-sebab penyakit (acteologi), ilmu asal datangnya penyakit (patologi) dan ilmu ketentuan hilangnya penyakit (prangnostik)
Ada lagi fungsi yang bersifat rohani atau yang bersifat Psikis, diantaranya;
Kemudian dengan memperhatikan dan mempelajari rahasia-rahasia puasa, berkesimpulan bahwa Allah memfardlukan puasa atas manusia (remaja) adalah;
a.       Untuk menanam rasa sayang dan ramah tamah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan kepada orang yang melarat hidupnya.
b.      Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Kita mengetahui, bahwa puasa itu suatu amalan Allah yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara segala amanah dengan sempurna terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita.
c.       Untuk menyuburkan dalam jiwa kita kekuatan menderita apabila kita terpaksa menderita dan untuk menguatkan iradat, atau kehendak kita dan untuk meneguhkan azimah atau keinginan dan kemauan[12]
Landasan orang berpuasa dari segi psikis seperti hadits yang di ceritakan sahabat Sa’id Bin Musayyab;
Artinya : “Dari Sa’id Bin Musayyab sesungguhnya dia telah mendengarkan dari Abi Hurairah r.a berkat, Rasulullah telah bersabda: “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya kecuali puasa, maka itu adalah untukku dan aku yang akan memberikan ganjaran”. (H.R. Muslim)76.

D.    Puasa dari segi Pendidikan
Puasa erat hubungannya dengan pedadogi atau ilmu pengetahuan, terutama pendidikan mental, budi pekerti atau akhlak; bahkan sebagai bentuk pendidikan kepribadian yang sangat luas pengertiannya itu.
Puasa mendidik seseorang untuk merasakan lapar dan haus yang disengaja sehingga memiliki timbang rasa dan tepo saliro tentang betapa sengsaranya orang-orang fakir/miskin yang sering kelaparan. Dari timbang rasa dan tepo saliro itu diharapkan pula tumbuhnya rasa dan sikap social, jiwa altruistis dan kesetiakawanan social yang tinggi.
Puasa mendidik kesabaran diakal kekurangan makanan/minuman dan bersyukur dikala berkecukupan (kenyang). Dalam hubungannya dengan pendidkan kepribadian bahwa kepribadian seseorang dibentuk melalui latihan kebiasaan. Kalau seseorang dikenalkan pada jenis makanan dari daun-daunan (sayur-sayuran) misalnya, tentu akan menjadi kebiasaannta sebagai vegetarian; demikian pula kalau selalu dikenalkan pada jenis makanan yang lezat-lezat, tentu akan menjadi kebiasaannya pula, sehingga pada saat tidak mendapatkan makanan yang demikian, dia akan kecewa, marah, menangis, berteriak-teriak dan sebagainya.
Puasa akan mendidk seseorang tidak terpengaruh oleh nafsu bahimiyah (binatang ternak) yang hidupnya hanya makan, minum dan berhubunga kelamin. Puasa kan mengikis kecenderungan “hidup hanya untuk makan”, sehingga tiada variasi kerja dan kegiatan lainnya, kecuali kegiatan mencari dan mengumpulkan makanan-makanan dan minuman-minuman melulu sejak pagi buta hingga malam hari.
Puasa bagi seseorang akan mendidik (membina) agar dapat hidup denga pola sederhana, menerima apa adanya, tak perlu mencari yang haram dan tercela. Dia tidak akan hidup bermanja-manja dengan segala harus ada dan tersedia. Dia juga tidak akan hidup serakah, tamak atau rakus. Dengan puasa akan terdidik (terbina) kepribadian luruh, harga diri sebagai manusia, bukan sebagai “kerbau-kerbau” yang mulutnya tak hendak berhenti mengunyah makanan.
Kita tentu masih ingat tentang firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 bahwa puasa adalah agar kita bertakwa atau memiliki ketakwaan kepada Allah. Ketwakwaan merupakan tujuan utama pendidikan; setelah itu akhlak (budi pekerti) mulia, kepribadian luhur, disiplin (ketaatan), rasa tanggung jawab, kecintaan kepada Tanah Air, nasionalisme, kesetiakawanan social, dan sebagainya.
Rasulullah juga mengingatkan bahwa ilmu (pengetahuan) dan akal (kecerdasan) tak aka nada bersama perut yang selalu diisi dengan makanan/minuman. Perut yang kekenyangan menjadikan seseorang mudah dan suka mengantuk serta malas berpikir, belajar atau bekerja.
Perut yang selalu dipenuhi makanan dapat melunturkan didikan patriotism, heroism, pengabdian dan rasa tanggung jawab. Lebih buruk lagi bila memiliki sifat tamak dan hendak meletakkan segala sesuatunya di atas kepentingan perut.
Di sinilah pentingnya pendidikan kepribadian dan puasa merupakan salah satu saran pendidikan yang sangat efektif. Bahkan para pemangku dunia pendidikan, umumnya berada pada kesatuan pandangan bahwa pendidikan kepribadian mempunyai tempat yang paling utama, sebagai anti ilmu, system dan tjuan pendidikan, yang akan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, kecerdasan, keterampilan, budi luhur, semangat yang menggelora, dan kepribadian-kepribadian lainnya menuju terwujudnya manusia-manusia yang berkualitas, paripurna serta berguna bagi agamam masyarakat, bangsa dan beragama.
Dalam kaitannya dengan puasa, bahwa dalam ilmu pendidikan kita kenal teori-teori seperti teori pengosongan, pemulihan tenaga, penurunan atavisme, keseimbangan, pembersihan dan lain-lainnya. Semua itu mendukung ajaran/praktik puasa dan berpantang, yang mempunyai arti terhadap perkembangan jiwa, watak, emosional dan sebagainnya.
Penyelidikan lain menunjukkan bahwa pelaparan, pengosongan atau pemiskinan yang teratur dari puasa atau berpantang, besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan dan kecakapan. Bahkan mudah menimbulkan inspirasi, mempertajam intusis dan mendatangkan ilham (inovasi).
Hal itu mengingatkan kita bahwa tidak semua anak dan orang yang pandai/cerdas dan cakap harus selalu lahir dari tengah-tengah kehidupan keluarga dan masyarakat yang selalu hidup senang/mewah, tidak pernah kekurangan pangan, dan selalu cukup kalori dan gizi, sebab kita melihat juga mereka yang lahir dan dibesarkan di  tengah-tengah kehidupan yang minus, miskin dan kurang. Mereka tidak harus lahir dari lingkungan perkotaan yang selallu mengenal daging, susu, mentega dan lain sebagainya, melainkan dapat juga lahir dari tengah-tengah alam perdesaan yang mengenal sayur-sayuran (vegetative).
Pada anak-anak atau orang-orang yang banyak makan dan minum berlebih-lebihan dan tidak teratur/tidak terkontrol, banyak kita dapati mereka yang tumpul berpikir, malas berencana, enggan bekerja/berusaha, lebih sering mengantuk/tidur, bersikap masa bodoh, kurang kreatif dan inovatif, kurang dinamis dan kurang memiliki elen vital.
Hubungannya puasa dengan ilmu pendidikan sebenarnya dibuktikan pula di kalangan masyarakat Indonesia, di mana para pemangku dunia pendidikan Islam memanfaatkan bulan Ramadhan untuk lebih menanamkan didikan puasa, baik melalui program kulikuler di sekolah maupun didikan melalui program nonkulikuler di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Di situlah ajaran puasa diterangkan, dikupas dan diajarkan secara tertib dan sistematis, terutama kepada anak-anak pelajar, mahasiswa dan generasi muda umumnya. Bulan Ramadhan dijadikan bulan pendidikan dan latihan missal dan sebagai kesempatan yang sangat berharga yang hanya dating satu kali dalam satu tahun.

E.     Puasa dari segi Ilmu Kesehatan
Puasa sangat erat hubungannya dengan ilmu kesehatan, terutama bagi yang melaksanakan puasa itu sendiri.
Tubuh manusia dibekali beberapa terapi alamiah dalam keadaan tubuh tidak kemasukan sebutir nasipun, manusia masih mempunyai cadangan energi yang disebut glikogen. Cadangan yang diperoleh dari karbohidrat ini bertahan selama 25 jam, dengan demikian, anak atau seseorang yang menjalankan puasa tidak perlu khawatir menjadi sakit karena tubuh mempunyai mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya.
Ditinjau dari ilmu kesehatan, menjalankan puasa baik bagi kesehatan, diantaranya yaitu:
1.      Puasa dapat mengistirahatkan organ-organ tubuh
Manusia dalam kesehariannya atau diluar puasa bulan puasa ketika sedang tidak berpuasa, alat-alat pencernaan di dalam tubuh akan bekerja ekstra keras, oleh karena itu. Sudah sepatutnya alat pencernaan tersebut diberi waktu untuk beristirahat, paling sedikitnya selama satu bulan dalam setahun.
Makanan yang masuk kedalam tubuh manusia (remaja) memerlukan proses pencernaan kurang lebih dari delapan jam yang terdiri dari empat jam diproses di dalam lambung dan empat jam di usus kecil (ileum).
2.      Membersihkan tubuh dari racun, kotoran dan ampas
Dalam tubuh manusia terdapat sampah berbahaya semisal feaces atau tinja, urine, CO 2 dari keringat maka dari itu tubuh akan terancam bahaya juka mengalami sembelit yang disebabkan oleh menumpuknya sisa-sisa sari makanan (tinja) di usus yang dampaknya akan menyebabkan tinja/racun terserap kembali pada tubuh.


3.      Mempercepat regenerasi kulit
Tubuh manusia(remaja) mengalami metabolisme energi yakni, peristiwa perubahan dari energi yang terkandung dalam zat gizi menjadi energi potensial dalam tubuh, sisanya akan disimpan dalam tubuh, sel ginjal, sel kulit, pelupuk mata serta dalam bentuk lemak dan glikogen. Cadangan gizi inilah yang akan membakar menjadi energi jika jika tubuh tidak mendapat suplai pangan dari luar, ketika berpuasa manusia (remaja) akan cadangan energi yang tersimpan dalam organ-organ tubuh akan dikeluarkan, yang akhirnya melegakan pernafasan organorgan tubuh dan sel penyimpanan.
Menghambat perkembangan atau pertumbuhan bakteri, virus dan sel kanker. Dalam tubuh manusia (anak) terdapat parasitparasit yang menumpang hidup termasuk menumpang makan dan minum, dengan jalan menghentikan pemasukan makanan. Maka kuman-kuman penyakit seperti bakteri-bakteri dan selsel kanker tidak akan bisa bertahan hidup, mereka akan keluar melalui cairan tubuh bersama sel-sel yang telah mati dan toksin.
4.      Meningkatkan sistem kekebalan tubuh
 Adanya penambahan sel darah putih, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli kesehatan. Meningkatkan daya serap tubuh, Umumnya orang hanya menyerap 35 % dari gizi makanan yang dikonsumsinya dengan berpuasa penyerapan gizi dapat mencapai 85 %.
5.      Menciptakan keseimbangan elektrolit di dalam lambun Keberadaan zat kimia yang bersifat alkali dan bersifat asam di dalam tubuh manusia (remaja) harus seimbang.
6.      Memperbaiki fungsi hormon
Kelenjar endokrin akan menghasilkan zat-zat kimia yang mengeluarkan hormon, jika tugasnya sudah selesai, maka pengeluaran hormon akan dihentikan untuk sementara waktu sambil menunggu tugas yang sama berikutnya, hal ini karena pada saat-saat terttentu misalnya disaat sedih, gembira, cemas, bersikap sosial dan sebagainya.
7.      Meningkatkan fungsi organ reproduksi
Peningkatan fungsi organ reproduksi ini erat kaitannya dengan peremajaan sel yang mendatangkan perubahan pada sel-sel urogenitalis dan jaringan-jaringan organ reproduksi wanita, terjadi perubahan metabolik pada saat menjalankan puasa, terutama yang dilangsungkan lewat kelenjar-kelenjar endokrin.
8.      Meremajakan atau mempercepat pegenasi sel-sel tubuh.
Organ-organ tubuh ketika manusia menjalankan puasa organ ini akan dalam keadaan rileks, organ-organ tubuh disini terdiri dari jaringan-jaringan yang merupakan kumpulan dari sel-sel sejenis serta ada berbagai macam sel dalam tubuh manusia, antara lain sel darah, sel tulang, sel syaraf, sel otot dan sel lemak.
9.      Meningkatkan fungsi fisiologis organ tubuh
Manusia (remaja) berpuasa berati memberikan kesempatan interval selam kurang lebih empat belas jam bgi organ-organ tubuh seperti lambung, ginjal dan lever, selama itu tubuh tidak menerima makanan maupun minuman. Sehingga akan menimbulkan efek berupa rangsangan terhadap seluruh sel, jaringan dan organ tubuh, efek rangsangan ini akan menghasilkan, memulihkan dan meningkatkan fungsi fisiologinya, misalkan panca indra menjadi semakin tajam dan peka.

F.     Puasa ditinjau dari Segi Ilmu Politik
Puasa juga erat hubungungannya dengan “ilmu politik”, baik sebagai ilmu maupun sebagai system, struktur dan praktik atau aplikasi yang luas itu, yang menyangangkut kehidupan bermasyarakat, bernegara, berpemerintah, bersosialisasi, berbangsa dan lain-lainnya.
Kita ingat bagaimana Rasulullah bila tiba bulan Ramadhan (sebelum menjadi Rasul) menggunakan kesempatan itu untuk ber-khalawat dan bertafakur sambil berpuasa di Gua Hira, untuk memperoleh ketenangan, kejernihan dan inspirasi berpikir, untuk memikirkan kondisi masyarakat, beliau menemukan dan memberikan jalan untuk membawa masyarakat dari kondisi kegelapan kepada kondisi kehidupan terang benderang. Masyarakat perlu ditata kembali, diatur dan disusun kembali dengan baik, benar, terhormat dan berharkat.
Walaupun waktu itu belum turun perintah puasa Ramadhan, tetapi banyak keterangan bahwa beliau sangat giat, tekun dan sungguh-sungguh berpuasa, mengosongkan jasmani dan membersihkan hati untuk mendapatkan kejernihan dan ketenangan berpiku, berencana dan berbuat yang menyangkut kepentinganmasyarakat. Dalam kondisi demikianlah beliau kedatangan Jibril untuk menyampaikan wahyu Allah dan mengangkat beliau sebagai Rasul-Nya. Wahyu-wahyu selanjutnya lebih nyata menyangkut tugas, risalah atau misi beliau untuk memimpin, mengatur, membimbing dan memerintah masyarakat berdasarkan wahyu, ajaran atau firman Allah.
Ketika telah hijrah dan tinggal di Madinah, beliau lebih berkesempatan menata, mengatur, dan menertibkan tata kehidupan berpolitik, bersiasat atau berpemerintah, yang menampakkanbeliau sebagai seorang diplomat, politikus dan negarawan yang berhasil.
Bila tiba bulan Ramadhan, beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyampaikan penerangangan, pendidikan/pembinaan, gemblengan dan bimbingan tentang arti hidup berpolitik yang baik, tertib, teratur, damai, dan sejahtera. Masjid Madinah merupakan tempat yang baik dan strategis sebagai tempat untuk mengadakan pembinaan, gemblengan dan pencetakan kader-kader, pioneer-pioner dan ahli-ahli politik muslim yang piawai, dengan perhatian utama pada politik dalam negeri.
Beliau juga memadukan kaum Muhajirin dan Anshar, suku Aus dan Khazraj, penduduk kota dan kampong, orang-orang kaya dan orang-orang miskin, yang ningrat dan orang-orang jelata. Semua satu adanya, sebagai “manusia politik”, hamba Allah, anggota masyarakat, muslim dan saudara, sebagai kodal dan syarat utama terbentknya masyarakat yang mapan, teratur dan bersatu padu di bawah panji-panji Islam. Di dalamnya dibersihkan dari penyakit perpecahan, sukuisme, permusuhan dan sebagainya.
Setelah berhasil menata politik dalam negeri, politik luar negeri pun dimantapkan dan diaktifkan, seperti dengan mengadakan perjanjian damai dengan kaum Yahudi Madinah dan sekitarnya dan dengan kaum Nasrani Najran; demikian pula dengan pengiriman-pengiriman duta-duta ke luar negeri seperti Yaman, Persia, Mesir, Bizantium dan lain-lainnya yang selain pengemban tugas agama juga tugas politik bahwa Islam adalah agama damai, masyarakat Islam adalah masyarakat cinta damai dan perdamaian abadi adalah cita-cita politik Islam
Dalam pengemban dan menata kehidupan politik masyarakat, Rasulullah tidak semata-mata mengandalkan kebijakan beliau, melainkan beliau dukung, perkuatan dan permantapan dengan berpuasa, beribadat dan memohon doa Allah. Puasa bagi beliau merupakan tambahan modal rohaniah dan mental, kejernihan hati dan pikiran dan suburnya kehendak untuk berbuat banyak untuk masyarakat. Puasa beliau jadikan sebagai “jannah” untuk perisai, pelindung dan pembenteng diri dari musuh yang tidak tampak maupun musuh yang tampak. Dengan larangan berkata kotor atau memancing permusuhan maupun larangan bersikap dan berbuat yang memancing perbantahan dan kekacauan, semua itu telah merupakan sikap politik juga bahwa kita sebenarnya cinta kerukunan, perdamaian dan persatuan yang utuh. Bahkan dalam satu hadist Rasulullah disebutkan bila ada orang, golongan atau masyarakat yang menantang bermusuhan, bertikai dan berperang, kita agar berkata: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Dalam bulan puasa saat kita berpuasa Ramadhan, bukan saja syetan yang terbelenggu, melainkan kita dan orang lain pun perlu terbelenggu dari kegemaran dari berbuat kekacauan, kerusakan dan kebinasaan dalam masyarakat dan Negara kita. Dalam kondisi masyarakat yang tertib dan damai, kita berkesempatak meningkatkan amal kebajikan untuk masyarakat dan Negara.
Puasa dengan motif, tendensi atau tujuan politik bukan praktik baru atau mengada-ada sejak dulu hingga sekarang. Kita ingat misalnya Terence Mac Swiney, seorang pangeran muda dari Cork (Inggris) yang sengaja berpuasa unruk tujuan politik. Mahatma Gandhi, pemimpin kemerdekaan India  biasa  dan berulang kali melakukan puasa untuk tujuan politik bagi kemerdekaan India. Zulfikar Ali Bhutton ketika berada dalam penjara dan sebelum dihukum gantung banyak berpuasa untuk tujuan politik dan sebagai protes terhadap perlakuan penguasa Pakistan yang tengah berkuasa setelah dia terguling. Imam Ayatullah Rahullah Khumaini memerintahkan rakyat Iran berpuasa selama 5 hari untuk tujuan politik, untuk kemenangan revolusi Iran, kemerdekaan politik dan untuk kestabilan Negara.
Sekalipun kita berpuasa Ramadhan semata-mata sebagai ibadah, perintah Allah dan pelaksanaan agama, tetapi keberkahannya demikian besar terhadap pemikiran, gagasan dan kebijakan politik. Hal itu bukan hal baru, tetapi hal lama juga yang dapat kita perhatikan dari pengalaman sejarah umat Islam khususnya. Sejak masa Rasulullah hingga kurun-kurun terakhir misalnya, kita mencatat banyak peristiwa dan tugas penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, baik itu kebetulan ataupun mungkin disengaja.
Pada bulan Ramadhan IX Hijriyah, Rasulullah menerima utusan dari Thaif untuk menyatakan diri memeluk Islam, tunduk kepada beliau dan mengakui pemerintaj beliau di Madinah dan pemerintah atas mereka. Pada bulan dan tahun itu juga dating utusan raja-raja di daerah Himyar untuk menyatakan masuk Islam, menyatakan tunduk dan mengakui pemerintah Rasulullah. Beliau pun sangat menghormati dan melindungi mereka serta memberikan surat kepercayaan yang penting, yang pada kemudian dinilai sebagai surat penting. Pada tahun berikutnya pada bulan Ramadhan juga Rasulullah mengutus Ali bin Abi Thallib ke Yaman, dengan membawa surat penting dari beliau untuk penduduk Yaman, yang menjadikan mereka seluruhnya memeluk Islam, menyatakan tunduk kepada Rasulullah dan mengakui pemerintahan beliau di Madinah. Pada bulan Ramadhan juga Islam berhasil berkumandang/ terpancar di Khurasan di bawah pimpinan Abu Muslim Al-Khurasani pada masa Daulat Bani Abbasiyah. Kalaulah dapat dikatakan berkat Ramadhan, bangsa Indonesia pada tanggal 9 Ramadhan 1365 Hijriyah berhasil memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Kalaulah semua itu merupaka kemenangan dan keberkaitan Ramadhan dalam aspek agama (Islam), sebenarnya terkandung juga kemenangan politik yang besar, di mana semangat yang mendorong kepada terwujudnya masyarakat yang kuat, stabil dan sejahtera.[13]
G.    Puasa dari segi Ilmu Pertahanan-Keamanan
Puasa erat hubungannya dengan segi ilmu pertahanan dan keamanan (hamkam), terutama bila kita ingat firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 bahwa puasa mengandung hikah, motif dan tujuan agar kita bertakwa. terpelihara dan terjaga dari beberapa keburukan/kesejahteraan lahi, maupun batin.
Demikian pula hadist-hadist Rasulullah banyak menyebutkan puasa sebagai jannah (perisai, pembenteng, pemagar, pelindung dan pengikis) diri dari amukan nafsu-nafsu jahat yang timbul dari dalam diri maupun yang dating dari luar berupa manusia dan kekuatan yang hendak merusak iman, jiwa dan kehidupan kita.
Rasulullah juga tidak menyia-nyiakan Ramadhan (bulan puasa) sebagai bulan pembinaan, gembleng dan tempaan jiwa militant, memperkuat barisan umat dan ketahanan individu maupun masyarakat/bangsa, sebagai syarat utama bagi kejayaan agama (Islam), masyarakat dan bangsa/Negara. Seperti dengan beliau kirim utusan (ekspedisi) yang terdiri dari orang-orang militant di bawah pimpinan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin Haris binAbdul Muthalib ke daerah pemukiman Yahudi disekita Madinag hingga Suriah pada awal Ramadhan tahun pertama Hijriyah, telah membuat kaum Yahudi tidak berani mengusik umat Islam.
Hal itu diartika sebagai kesempatan bagi Rsulullah dan umat Islam untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, mempertangguhkan ketahanan umat dan wilayah serta sebagai persiapan membentuk kekuatan pertahanan keamanan (hankam) menghadapi kemungkinan pecahnya peperangan-peperangan dan timbulnya pengacauan-pengacauan dari luar.
Berbagai peristiwa perang yang terjadi pada bulan Ramadhan menunjukan betapa besar ada rasa wajib dan tanggung jawab “hankam” dalam tubuh umat Islam di bawah pimpinan Rasulullah.
Kita ingat Perang Badar Kubra yang meletus pada bulan Ramadhan tahun II hijriyah (ketika Ayat Shaum baru turun) perang tersebut memakan waktu lebih/kurang 17 hari, dengan kemenangan di pihak pasukan muslimin di bawah pimpinan langsung Rasulullah.
Pada tahun III Hijriyah kembali pasukan muslimin terlibat perang dibukut Uhud melawan musuh yang sama ketika Perang Badar yakni pasukan musyrikin Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Perang Uhud itu pun terjadi pada bulan syawal(tanggal 7) tetapi persiapan perang dan pengaturan strategi/taktik telah dimulai sejak bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan tahun V Hijriyah disusun persiapan perang menghadapi Perang Khandaq, walaupun perang itu terjadi pada bulan Syawal tahun itu juga.
Pada akhir Ramadhan tahun VIII Hijriyah Rasulullah mempersiapkan kekuatan muslim untuk menaklukan kota Makkah, pada saat beliau menerima wahyu dari Allah yang merupakan kabar gembira bagi beliau dan kaum musllimin tentang kemenangan besar yang akan diperoleh berupak takluknya kota itu. Kemenangan itu merupakan kenyataan. Pada bulan Ramadhan itu Rasulullah berhasil memasuki kota Makkah, dan beliau berkesempatan untuk menghancurkan patungan-berhala Latta, tanda permulaan hancurnya kebatilan dan datangnya kebenaran (haq).
Beliau kemudian memerintahkan Khalid bin Walid untuk menghancurkan patung berhala Uzza, Amr bin Ash menghancurkan Suwa’, sa’ad bin Zaid menghancurkan Manat. Dengan kemenangan itu berarti makin kokohnya Islam dan makin kuatnya pemerintah dan masyarakat muslimin yang berpusat di Madinah. Pada bulan Ramadhan tahun IX Hijriyah meletus pula Perang Tabuk dan pada bulan itu juga Rasulullah memperoleh kemenangan besar atas pasukan Romawi Timur.
Kita ingat juga ketika pada bulan Ramadhan tahun 53 Hijriyah pasukan Islam memperoleh kemenangan dalam penaklukan semenanjung Rodes. Pada bulan Ramadhan tahun 92 Hijriyah kaum (pasukan) muslimin berhasil mendarat di pantai selatan Andalusia di bawa pimpinan Thariq bin Ziyad dan pada tahun berikutnya pada bulan Ramadhan Thariq berhasil mengalahkan Raja Fredik dalam peperangan yang dahsyat.
Pada bulan Ramadhan tahun 361 Hijriyah Shalahuddin Al-Ayubi berhasil mengahncurkan pasukan Ricard si Hati Singa dalam Perang Salib. Pasukan Shalahuddin mengunngatkan tentang perlunya beristirahat karena bulan puasa, tetapi dia menginginkan mempersingkat perang, karena khawatir ajalnya akan segera tiba; karena itu peperangan itu terus dilancarkan sampai berhasil dikuasainya sejumlah benteng yang kokoh pada pertengahan Ramadhan. Pada tahun 658 (bulan Ramadhan juga), pasukan Mamalik berhasil menghancurkan pasukan Tatar sekaligus menggagalkan rencana mereka untuk menguasai dunia Islam.
Kiranya bukan hal yang berlebihan bila kita memaklumi bagaimana para pemimpin perjuangan kita dulu memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai bulan penggemblengan jiwa militansi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Pemimpin-pemimpin seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Hasanuddin (Makassar), Hasannudin (Banten), Tengku Umar, Fatahillah, Zainal Mustaf dan alin-lainnya banyak dan biasa menggunakan masjid dan memanfaatkan bulan Ramadhan untuk membina jiwa beragama (jiwa takwa), jiwa kebangsaan dan jiwa perjuangan para kader, santri atau anggota masyarakat muslimin tentang arti kemerdekaan, persatuan, keberanian dan kekuatan sebagai bangsa yang terjajah dan tertindas.
Sekarang pun setelah kita merdeka dan tengah jurang mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang, bulan Ramadhan merupakan bulan yang efektif untuk menggiatkan pembinaan keimanan, ketakwaan, akhlak, kemasyarakatan dan lain sebagainya, untuk memperkuat ketahanan individual, social dan nasional. Demikian pula puasa Ramadhan merupakan pembentengan diri perorangan, masyarakat dan bangsa dari berbagai ancaman yang mengancam keamanan dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.[14]

H.    Puasa dari segi Ilmu Hukum
Puasa dalam hubungannya dengan ilmu hukum jelas erat dan benar, baik hukum sebagai ilmu maupun sebagai system dan aplikasi. Hubunganya dengan hukum agama jelas, puasa itu sendiri menurut hokum Islam tidak lepas dari hokum yang lima; terutama puasa Ramadhan, puasa Nadzar, puasa Kirafat dan puasa Qadha merupakan puasa-puasa yang wajib dilaksanakan dengan kepatuhan (disiplin) hukum. Bahkan menurut kaidah Ushul Fiqih bahwa “setiap perintah” (dari Allah) adalah wajib, yang berarti berdosa bila tidak melaksanakannya.
            Kalau hukum islam diartikan sebagai syarat, aturan, kaidah atau patoakan, maka dalam puasa itu sendiri telah terkandung hukum, aturan, syariat dan sebagainya itu. Seperti tersebut terdahulu tentang puasa wajib maupun puasa sunat, diwajibkan dan disunatkan kepada muslim/muslimat yang telah dewasa dan mukalaf, sebagian orang yang mendapat beban hukum yang harus dilaksanakan dengan baik.
            Dalam ajaran puasa sebenarnya telah terkandung pengertian hukum. Karena puasa itu sendiri telah merupakan aturan bagi manusia (muslim) yang harus ditaati dan dilaksanakan. Sebab, puasa itu merupakan perintah dari Allah yang dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ia bersifat memaksa (wajib), dan mengandung tujuan yang baik. Bagi yang tidak melaksanakannya akan mendapatkan sanksi. [15]
           

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah dibuat dapat disimpulkan bahwa:
1.      puasa adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri dan semisal sehari penuh, dari terbitnya fajar siddiq hingga terbenamnya matahari, dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
2.      Puasa dapat dikaji dari berbagai aspek diantaranya yaitu puasa dikaji dari aspek Ilmu Sejarah, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Kesehatan, Psikologi, Pertahanan-Keamanan dan Pendidikan.
3.      Puasa memiliki manfaat diantaranya dari segi Ilmu Kesehatan dan Psikologi.
B.     Saran dan Kritik
Kami mengharapkan saran dan kritik kepada para pembaca makalah demi kemajuan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Zuhayly, W. 1998. Puasa dan Itikaf, Kajian berbagai Mahzab. Bandung: Remaja Rosda Karya
BA,Sismona. 2000. Puasa pada umat-umat dahulu dan sekarang. Jakarta: Republika
Ash-Shiddiqy, T.M. 2000. Pedoman Puasa. Semarang: Pustaka Rizki Pustaka
Poerwardaminta, W. 1967. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustka
Qardawi, Y. 2000. Fiqih Puasa. Surakarta: Era Intermedia
Syarifuddin, A. 2003. Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis. Jakarta: Gema Insan