BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Puasa adalah
menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan disertai niat
berpuasa.Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota
badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, Sejak terbitnya fajar kedua sampai
terbenamnya matahari dengan berdasarkan niat.Puasa merupakan dasar praktis dan
teoritis bagi sisi pengendalian diri untuk menjalankan perintah Allah.Allah SWT
menetapkan kunci masuk surga terletak dalam masalah mengendalikan diri.Selain
mengendalikan diri dari syahwat-syahwat yang diharamkan dan dorongan-dorongan
terlarangnya, mengendalikan diri juga untuk menetapi akhlak yang agung dan
baik.
Sejak dulu sampai
sekarang, kita beranggapan bahwa puasa sesuai dengan ilmu pengetahuan.Banyak
cabang ilmu pengetahuan yang mendung dan berkaitan erat dengan puasa.Mereka
berani membuktikan dan menjadi sanksi atas kebenaran itu.
Puasa telah banyak
dikupas, dikaji dan dibicarakan dalam forum-forum ilmiah oleh banyak sarjana di
Barat dan di Timur, yang muslim dan yang non-muslim, melalui lisan maupun
tulisan, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki masing-masing. Dalam
makalah ini akan membahas puasa yang ditinjau dari segi ilmu sejarah,
kesehatan, politik, pedadogi, psikologi, politik, pertahanan keamanan dan
hukum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Puasa?
2. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu sejarah?
3. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Psikologis?
4. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Pendidikan?
5. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Kesehatan?
6. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Politik?
7. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Pertahanan-Keamanan?
8. Bagaimana
pandangan Puasa yang ditinjau dari segi Ilmu Hukum?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
dapat memahami pengertian dari puasa
2. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Sejarah
3. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Psikologis
4. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Pendidikan
5. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Kesehatan
6. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Politik
7. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Pertahanan-Keamanan
8. Untuk
mengetahui pandangan puasa dari segi Ilmu Hukum
D.
Metode
Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah
dengan menggunakan metode kepustakaan. Metode ini digunakan dengan cara
mengumpulkan sejumlah karya yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Puasa
Puasa
dari segi bahasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kalf) dari
sesuatu dengan kata lain yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun
termasuk didalamnya tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang
beretalian dengan agama).[1]
Arti
puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum secara bahasa
berarti ’menahan diri’(berpantang) dari suatuperbuatan.[2]
Puasa
artinya menahan dan mencegah diri dari hal-hal yang mubah yaitu berup makan dan
berhubungan dengan suami istri, dalam rangka Taqarub ilallah (mendekatkan
diri pada Allah swt,). Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang,
atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang
membatalkan diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari
(waktu maghrib).[3]
Jadi,
pengertian puasa menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan
dari makan, minum. Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh,
dari terbit fajarsiddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu
maghrib), dengan tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah.[4]
Ada
juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara’, puasa berarti menahan
diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang
yang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari,
dengan kata lain, Puasa adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang
berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan
diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.
Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar
kedua (fajar shadiq) sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang
berhak melakukannya, yaitu orang muslim, berakal. Tidak sedang haid, dan tidak
nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat; yakni, bertekad dalam hati untuk
mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu, tujuan niat adalah
membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.[5]
Pengertian
puasa banyak yang mendefinisikan, sedangkan menurut istilah banyak para para
pakar yang memberikan definisi antara lain menurut Yusuf Qardawi bahwa puasa
adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri
dan semisal sehari penuh, dari terbitnya fajar siddiq hingga terbenamnya
matahari, dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.[6]
B.
Puasa
dari segi Ilmu Sejarah
Pendekatan sejarah adalah mengkaji Islam dari
perspektif yang dikenal dalam ilmu-ilmu sejarah, dalam ini sebuah sejarah
dipengaruhi oleh banyak factor, diantaranya sejarah dipengaruhi oleh masa dan
cara berpikir di masa itu, dan sebagainya. Ketika diterapkan dalam mengkaji
Islam, maka Islam bukan dillihat sebagai doktrin semata, tetapi dilihat secara
historis yang terkena deretan hokum historis yang selalu berubah.
Awal munculnya
puasa berawal dari sejarah turunnya ayat;
Artinya
: “ Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang
manusia, maka katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan
Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun
pada hari ini”. (Q.S. Maryam ; 26).
Sejarah
munculnya puasa memang sejak dulu pra agama Islam, puasa merupakan ibadah yang
telah lama berkembang dalam masyarakat umat manusia sebelum Islam. Hal ini
dapat diketahui dari ayat 183 : S.2, Al-Baqarah; kama kutiba ‘alalladzina
minqoblikum =sebagaimana telah ditetapkan atas orang-orang yang sebelum kamu”.
Istilah
puasa pada era sekarang bukanlah hal yang asing, ataupun baru, orang-orang
mesir kuno telah mengenal puasa 5000 tahun sebelum agama samawi diturunkan
orang Yunani dan Romawi juga telah mengenal sebelum lahirnya agama Nasrani.
Proses
pelaksanaan puasa itu nampak ketika ada larangan yang diberikan kepada Nabi
Adam dan Dewi Hawa ketika berada di surge tidak boleh makan buah pohon huldi
(nama pohon ini tidak dapat dipastikan karena tidak ada keterangan dari
Al-Qur’an maupun Hadits)[7],
yang berimbas keduanya diturunkan di dunia.
Praktek
puasa mulai nampak sejak dulu, sebagai bukti diantaranya; Nabi Musa as. dan
Nabi Isa as. Bersama umatnya, diperintahkan oleh Allah melakukan Puasa Ramadhan
pada masa itu.
Walaupaun
berkelanjutan dengan adanya perubahan model yang dilakukan pendeta-pendetanya,
yaitu dengan menambah sepuluh hari,yang aslinya tiga puluh hari jadi empat
puluh hari, adanya dalih nazar ketika ada kaumnya yang sakit parah (pendeta),
apabila pendeta itu sembuh maka mereka akan menambahnya menjadi empat puluh
hari, jadilah puasanya kaum nasrani menjadi empat puluh hari[8].
Nabi
Muhammadpun melihat dari golongan orang yahudi yang melakukan puasa hari
Assyura pada waktu golongan itu belum tersentuh dengan ajaran Islam, sehingga
Nabi Muhammad menyuruh kepada umat Islam untuk melakukan hal yang sama.
Memang
dalam pelaksanaan puasa sudah dilakukan sejak dulu[9],
sebelum Islam datang, praktek puasa pada masa itu istilahnya juga difardlukan
oleh Allah, sama difardlukannya ibadah puasa Ramadhan kepada umat Islam.
Fakta
sejarah yang ditemui pada umat-umat dan bangsa-bangsa terdahulu menunjukkan bahwa mereka melakukan
puasa sebagai sebuah naluri fitrah tanpa standar dan ukuran yang jelas serta
tegas. Tindakan para pendeta Yahudi dan Nasrani, misalnya, kewajiban puasa
selama tiga puluh hari di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas,
mereka merubah waktunya kemusim semi karena dirasa memberatkan. Puasa yang
semula sehari mereka merubah menjadi sehari semalam, yaitu mulai matahari
terbenam hingga matahari terbenam keesokannya[10].
Ini membuktikan betapa terjadi distorsi pada ia badah puasa oleh umat dan
bangsa terdahulu.
Hal
ini terbukti pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 35, Allah melarang Nabi Adam
dan Dewi Hawa memakan buah pohon tertentu, sementara ada yang menamainya dengan
nama nuah huldi, buah kekekalan, sebagaimana tersebut dalam dalam Al-Qur’an
surah Thaha ayat 120, tetapi nama itu adalah nama yang diberikan setan. Inilah
barang kali puasa dalam arti menahan diri dari hal-hal yang dilarang[11].
C. Puasa ditinjau dari segi Psikologis
Puasa ditinjau
dari segi psikologis mengandung arti dan manfaat yang besar bagi perkembangan
jiwa, watak, tingkah laku dan kepribadian orang yang berpuasa. Dan yang
diharapkan ialah sehatnya jiwa, rohani atau mental dari berbagai penyakit
rohani sehingga terbentuklah mental
well-being.
Manfaat puasa bagi perkembangan jiwa
diantaranya yaitu:
1. Puasa
dapat menghilangkan sifat hewaniyah
Dalam
melakukan ibadah puasa tidak hanya diwajibkan menahan lapar dan haus semata
akan tetapi wajib pula menahan dan menutup segala atau segenap panca indera
dari semacam pengaruh dan perbuatan maksiat dan harus mampu mencegah gerakan
tubuh maupun bisikan bathin yang dapat menimbulkan pengaruh pada perbuatan
jelek dan tidak terpuji.
2.
Menciptakan
dan meningkatkan daya nalar.
Biasanya
puasa sebagai penapis dan penyaring yang selanjutnya menentukan kadar ketakwaan
seseorang (remaja). Mereka membentuk watak yang kukuh tegak dalam segala
keadaan dan waktu.
Tidak
gampang terperdaya dari terpaan dan godaan, lantaran menghujam direlung hati
iman yang mapan. Malah yang hebat lagi puasa dapat membersihkan rohani dan
meningkatkan nalar pikiran dari segala muskil kesukaran, serta merta mampu
mengentas derajat kemanusiaan.
3. Nalar
pikiran ke Alam Illahi
Sudah
banyak tokoh Islam atau para ulama’ yang mashur, cerdas lewat usahanya melalui
puasa, acapkali membuahkan tulisan-tulisan yang berharga seperti Buya Hamka,
beliau melakukan meditasinya lewat prosesi ibadah puasa, ada nalar yang
mengarah kepada ruh yang ditiupkan, disini istilahnya alam ilahiyah
4. Aku
(Ego) lahir dan Aku bathin
Puasa
merupakan intuisi disiplin moral dan fisik yang menerawang ke alam ilahi,
adalah tujuan mulua manusia (remaja) mencapai tingkatan spiritual manusia yang
paling tinggi .
5. Egois
menjadi Ikhlas
Dalam
perjalanan yang lebih nyat, penyakit egosentris acapkali menggunakan golongan
lain sebagai alat untuk mempengaruhi atau menguasai sesuatu menjadi objek.
6. Puasa
dan penyakit psikosomatik
Perlu
adanya pembuktian adanya dari cabang ilmu kesehatan misalnya ilmu urai tubuh (anatomi),
ilmu pengobatan (farmakologi), ilmu sebab-sebab penyakit (acteologi),
ilmu asal datangnya penyakit (patologi) dan ilmu ketentuan hilangnya
penyakit (prangnostik)
Ada
lagi fungsi yang bersifat rohani atau yang bersifat Psikis, diantaranya;
Kemudian
dengan memperhatikan dan mempelajari rahasia-rahasia puasa, berkesimpulan bahwa
Allah memfardlukan puasa atas manusia (remaja) adalah;
a. Untuk
menanam rasa sayang dan ramah tamah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan
kepada orang yang melarat hidupnya.
b. Untuk
membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Kita mengetahui, bahwa puasa itu
suatu amalan Allah yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara
segala amanah dengan sempurna terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah
yang dipertaruhkan kepada kita.
c. Untuk
menyuburkan dalam jiwa kita kekuatan menderita apabila kita terpaksa menderita
dan untuk menguatkan iradat, atau kehendak kita dan untuk meneguhkan azimah
atau keinginan dan kemauan[12]
Landasan
orang berpuasa dari segi psikis seperti hadits yang di ceritakan sahabat Sa’id
Bin Musayyab;
Artinya : “Dari Sa’id
Bin Musayyab sesungguhnya dia telah mendengarkan dari Abi Hurairah r.a berkat,
Rasulullah telah bersabda: “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya kecuali
puasa, maka itu adalah untukku dan aku yang akan memberikan ganjaran”. (H.R.
Muslim)76.
D.
Puasa
dari segi Pendidikan
Puasa erat hubungannya dengan pedadogi atau ilmu pengetahuan, terutama pendidikan mental, budi
pekerti atau akhlak; bahkan sebagai bentuk pendidikan kepribadian yang sangat
luas pengertiannya itu.
Puasa mendidik seseorang untuk merasakan lapar dan
haus yang disengaja sehingga memiliki timbang rasa dan tepo saliro tentang betapa sengsaranya orang-orang fakir/miskin
yang sering kelaparan. Dari timbang rasa dan tepo saliro itu diharapkan pula tumbuhnya rasa dan sikap social, jiwa altruistis dan kesetiakawanan
social yang tinggi.
Puasa mendidik kesabaran diakal kekurangan
makanan/minuman dan bersyukur dikala berkecukupan (kenyang). Dalam hubungannya
dengan pendidkan kepribadian bahwa kepribadian seseorang dibentuk melalui
latihan kebiasaan. Kalau seseorang dikenalkan pada jenis makanan dari
daun-daunan (sayur-sayuran) misalnya, tentu akan menjadi kebiasaannta sebagai
vegetarian; demikian pula kalau selalu dikenalkan pada jenis makanan yang
lezat-lezat, tentu akan menjadi kebiasaannya pula, sehingga pada saat tidak
mendapatkan makanan yang demikian, dia akan kecewa, marah, menangis,
berteriak-teriak dan sebagainya.
Puasa akan mendidk seseorang tidak terpengaruh oleh
nafsu bahimiyah (binatang ternak) yang hidupnya hanya makan, minum dan
berhubunga kelamin. Puasa kan mengikis kecenderungan “hidup hanya untuk makan”,
sehingga tiada variasi kerja dan kegiatan lainnya, kecuali kegiatan mencari dan
mengumpulkan makanan-makanan dan minuman-minuman melulu sejak pagi buta hingga
malam hari.
Puasa bagi seseorang akan mendidik (membina) agar
dapat hidup denga pola sederhana, menerima apa adanya, tak perlu mencari yang
haram dan tercela. Dia tidak akan hidup bermanja-manja dengan segala harus ada
dan tersedia. Dia juga tidak akan hidup serakah, tamak atau rakus. Dengan puasa
akan terdidik (terbina) kepribadian luruh, harga diri sebagai manusia, bukan
sebagai “kerbau-kerbau” yang mulutnya tak hendak berhenti mengunyah makanan.
Kita tentu masih ingat tentang firman Allah dalam
Surat Al-Baqarah ayat 183 bahwa puasa adalah agar kita bertakwa atau memiliki
ketakwaan kepada Allah. Ketwakwaan merupakan tujuan utama pendidikan; setelah
itu akhlak (budi pekerti) mulia, kepribadian luhur, disiplin (ketaatan), rasa
tanggung jawab, kecintaan kepada Tanah Air, nasionalisme, kesetiakawanan
social, dan sebagainya.
Rasulullah juga mengingatkan bahwa ilmu
(pengetahuan) dan akal (kecerdasan) tak aka nada bersama perut yang selalu
diisi dengan makanan/minuman. Perut yang kekenyangan menjadikan seseorang mudah
dan suka mengantuk serta malas berpikir, belajar atau bekerja.
Perut yang selalu dipenuhi makanan dapat melunturkan
didikan patriotism, heroism, pengabdian dan rasa tanggung jawab. Lebih buruk
lagi bila memiliki sifat tamak dan hendak meletakkan segala sesuatunya di atas
kepentingan perut.
Di sinilah pentingnya pendidikan kepribadian dan
puasa merupakan salah satu saran pendidikan yang sangat efektif. Bahkan para
pemangku dunia pendidikan, umumnya berada pada kesatuan pandangan bahwa
pendidikan kepribadian mempunyai tempat yang paling utama, sebagai anti ilmu,
system dan tjuan pendidikan, yang akan membentuk manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan, kecerdasan, keterampilan, budi luhur, semangat yang
menggelora, dan kepribadian-kepribadian lainnya menuju terwujudnya
manusia-manusia yang berkualitas, paripurna serta berguna bagi agamam
masyarakat, bangsa dan beragama.
Dalam kaitannya dengan puasa, bahwa dalam ilmu
pendidikan kita kenal teori-teori seperti teori pengosongan, pemulihan tenaga,
penurunan atavisme, keseimbangan, pembersihan dan lain-lainnya. Semua itu
mendukung ajaran/praktik puasa dan berpantang, yang mempunyai arti terhadap
perkembangan jiwa, watak, emosional dan sebagainnya.
Penyelidikan lain menunjukkan bahwa pelaparan,
pengosongan atau pemiskinan yang teratur dari puasa atau berpantang, besar pengaruhnya
bagi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan dan kecakapan. Bahkan mudah
menimbulkan inspirasi, mempertajam intusis dan mendatangkan ilham (inovasi).
Hal itu mengingatkan kita bahwa tidak semua anak dan
orang yang pandai/cerdas dan cakap harus selalu lahir dari tengah-tengah
kehidupan keluarga dan masyarakat yang selalu hidup senang/mewah, tidak pernah
kekurangan pangan, dan selalu cukup kalori dan gizi, sebab kita melihat juga
mereka yang lahir dan dibesarkan di
tengah-tengah kehidupan yang minus, miskin dan kurang. Mereka tidak
harus lahir dari lingkungan perkotaan yang selallu mengenal daging, susu,
mentega dan lain sebagainya, melainkan dapat juga lahir dari tengah-tengah alam
perdesaan yang mengenal sayur-sayuran (vegetative).
Pada anak-anak atau orang-orang yang banyak makan
dan minum berlebih-lebihan dan tidak teratur/tidak terkontrol, banyak kita
dapati mereka yang tumpul berpikir, malas berencana, enggan bekerja/berusaha,
lebih sering mengantuk/tidur, bersikap masa bodoh, kurang kreatif dan inovatif,
kurang dinamis dan kurang memiliki elen
vital.
Hubungannya puasa dengan ilmu pendidikan sebenarnya
dibuktikan pula di kalangan masyarakat Indonesia, di mana para pemangku dunia
pendidikan Islam memanfaatkan bulan Ramadhan untuk lebih menanamkan didikan
puasa, baik melalui program kulikuler di sekolah maupun didikan melalui program
nonkulikuler di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Di situlah ajaran puasa diterangkan, dikupas dan
diajarkan secara tertib dan sistematis, terutama kepada anak-anak pelajar,
mahasiswa dan generasi muda umumnya. Bulan Ramadhan dijadikan bulan pendidikan
dan latihan missal dan sebagai kesempatan yang sangat berharga yang hanya
dating satu kali dalam satu tahun.
E.
Puasa
dari segi Ilmu Kesehatan
Puasa sangat erat hubungannya dengan ilmu kesehatan,
terutama bagi yang melaksanakan puasa itu sendiri.
Tubuh manusia dibekali beberapa terapi alamiah dalam
keadaan tubuh tidak kemasukan sebutir nasipun, manusia masih mempunyai cadangan
energi yang disebut glikogen. Cadangan yang diperoleh dari karbohidrat
ini bertahan selama 25 jam, dengan demikian, anak atau seseorang yang
menjalankan puasa tidak perlu khawatir menjadi sakit karena tubuh mempunyai
mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya.
Ditinjau dari ilmu kesehatan, menjalankan puasa baik
bagi kesehatan, diantaranya yaitu:
1.
Puasa dapat mengistirahatkan organ-organ
tubuh
Manusia
dalam kesehariannya atau diluar puasa bulan puasa ketika sedang tidak berpuasa,
alat-alat pencernaan di dalam tubuh akan bekerja ekstra keras, oleh karena itu.
Sudah sepatutnya alat pencernaan tersebut diberi waktu untuk beristirahat,
paling sedikitnya selama satu bulan dalam setahun.
Makanan
yang masuk kedalam tubuh manusia (remaja) memerlukan proses pencernaan kurang
lebih dari delapan jam yang terdiri dari empat jam diproses di dalam lambung
dan empat jam di usus kecil (ileum).
2. Membersihkan
tubuh dari racun, kotoran dan ampas
Dalam tubuh manusia terdapat sampah
berbahaya semisal feaces atau tinja, urine, CO 2 dari keringat
maka dari itu tubuh akan terancam bahaya juka mengalami sembelit yang
disebabkan oleh menumpuknya sisa-sisa sari makanan (tinja) di usus yang
dampaknya akan menyebabkan tinja/racun terserap kembali pada tubuh.
3. Mempercepat
regenerasi kulit
Tubuh manusia(remaja) mengalami metabolisme
energi yakni, peristiwa perubahan dari energi yang terkandung dalam zat
gizi menjadi energi potensial dalam tubuh, sisanya akan disimpan dalam tubuh,
sel ginjal, sel kulit, pelupuk mata serta dalam bentuk lemak dan glikogen.
Cadangan gizi inilah yang akan membakar menjadi energi jika jika tubuh tidak
mendapat suplai pangan dari luar, ketika berpuasa manusia (remaja) akan
cadangan energi yang tersimpan dalam organ-organ tubuh akan dikeluarkan, yang
akhirnya melegakan pernafasan organorgan tubuh dan sel penyimpanan.
Menghambat perkembangan atau pertumbuhan
bakteri, virus dan sel kanker. Dalam tubuh manusia (anak) terdapat
parasitparasit yang menumpang hidup termasuk menumpang makan dan minum, dengan
jalan menghentikan pemasukan makanan. Maka kuman-kuman penyakit seperti
bakteri-bakteri dan selsel kanker tidak akan bisa bertahan hidup, mereka akan
keluar melalui cairan tubuh bersama sel-sel yang telah mati dan toksin.
4. Meningkatkan
sistem kekebalan tubuh
Adanya penambahan sel darah putih, hal ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli kesehatan. Meningkatkan
daya serap tubuh, Umumnya orang hanya menyerap 35 % dari gizi makanan yang
dikonsumsinya dengan berpuasa penyerapan gizi dapat mencapai 85 %.
5. Menciptakan
keseimbangan elektrolit di dalam lambun Keberadaan zat kimia yang bersifat alkali
dan bersifat asam di dalam tubuh manusia (remaja) harus seimbang.
6. Memperbaiki
fungsi hormon
Kelenjar endokrin akan
menghasilkan zat-zat kimia yang mengeluarkan hormon, jika tugasnya sudah
selesai, maka pengeluaran hormon akan dihentikan untuk sementara waktu sambil
menunggu tugas yang sama berikutnya, hal ini karena pada saat-saat terttentu
misalnya disaat sedih, gembira, cemas, bersikap sosial dan sebagainya.
7. Meningkatkan
fungsi organ reproduksi
Peningkatan fungsi organ reproduksi ini
erat kaitannya dengan peremajaan sel yang mendatangkan perubahan pada sel-sel urogenitalis
dan jaringan-jaringan organ reproduksi wanita, terjadi perubahan metabolik
pada saat menjalankan puasa, terutama yang dilangsungkan lewat
kelenjar-kelenjar endokrin.
8. Meremajakan
atau mempercepat pegenasi sel-sel tubuh.
Organ-organ tubuh ketika manusia
menjalankan puasa organ ini akan dalam keadaan rileks, organ-organ tubuh disini
terdiri dari jaringan-jaringan yang merupakan kumpulan dari sel-sel sejenis
serta ada berbagai macam sel dalam tubuh manusia, antara lain sel darah, sel
tulang, sel syaraf, sel otot dan sel lemak.
9. Meningkatkan
fungsi fisiologis organ tubuh
Manusia (remaja) berpuasa berati
memberikan kesempatan interval selam kurang lebih empat belas jam bgi
organ-organ tubuh seperti lambung, ginjal dan lever, selama itu tubuh tidak
menerima makanan maupun minuman. Sehingga akan menimbulkan efek berupa
rangsangan terhadap seluruh sel, jaringan dan organ tubuh, efek rangsangan ini
akan menghasilkan, memulihkan dan meningkatkan fungsi fisiologinya, misalkan
panca indra menjadi semakin tajam dan peka.
F.
Puasa
ditinjau dari Segi Ilmu Politik
Puasa juga erat hubungungannya dengan “ilmu politik”,
baik sebagai ilmu maupun sebagai system, struktur dan praktik atau aplikasi
yang luas itu, yang menyangangkut kehidupan bermasyarakat, bernegara,
berpemerintah, bersosialisasi, berbangsa dan lain-lainnya.
Kita ingat bagaimana Rasulullah bila tiba bulan
Ramadhan (sebelum menjadi Rasul) menggunakan kesempatan itu untuk ber-khalawat dan bertafakur sambil berpuasa
di Gua Hira, untuk memperoleh ketenangan, kejernihan dan inspirasi berpikir,
untuk memikirkan kondisi masyarakat, beliau menemukan dan memberikan jalan
untuk membawa masyarakat dari kondisi kegelapan kepada kondisi kehidupan terang
benderang. Masyarakat perlu ditata kembali, diatur dan disusun kembali dengan
baik, benar, terhormat dan berharkat.
Walaupun waktu itu belum turun perintah puasa
Ramadhan, tetapi banyak keterangan bahwa beliau sangat giat, tekun dan
sungguh-sungguh berpuasa, mengosongkan jasmani dan membersihkan hati untuk
mendapatkan kejernihan dan ketenangan berpiku, berencana dan berbuat yang
menyangkut kepentinganmasyarakat. Dalam kondisi demikianlah beliau kedatangan
Jibril untuk menyampaikan wahyu Allah dan mengangkat beliau sebagai Rasul-Nya.
Wahyu-wahyu selanjutnya lebih nyata menyangkut tugas, risalah atau misi beliau
untuk memimpin, mengatur, membimbing dan memerintah masyarakat berdasarkan
wahyu, ajaran atau firman Allah.
Ketika telah hijrah dan tinggal di Madinah, beliau
lebih berkesempatan menata, mengatur, dan menertibkan tata kehidupan
berpolitik, bersiasat atau berpemerintah, yang menampakkanbeliau sebagai
seorang diplomat, politikus dan negarawan yang berhasil.
Bila tiba bulan Ramadhan, beliau tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyampaikan penerangangan,
pendidikan/pembinaan, gemblengan dan bimbingan tentang arti hidup berpolitik
yang baik, tertib, teratur, damai, dan sejahtera. Masjid Madinah merupakan
tempat yang baik dan strategis sebagai tempat untuk mengadakan pembinaan,
gemblengan dan pencetakan kader-kader, pioneer-pioner dan ahli-ahli politik
muslim yang piawai, dengan perhatian utama pada politik dalam negeri.
Beliau juga memadukan kaum Muhajirin dan Anshar,
suku Aus dan Khazraj, penduduk kota dan kampong, orang-orang kaya dan
orang-orang miskin, yang ningrat dan orang-orang jelata. Semua satu adanya,
sebagai “manusia politik”, hamba Allah, anggota masyarakat, muslim dan saudara,
sebagai kodal dan syarat utama terbentknya masyarakat yang mapan, teratur dan
bersatu padu di bawah panji-panji Islam. Di dalamnya dibersihkan dari penyakit
perpecahan, sukuisme, permusuhan dan sebagainya.
Setelah berhasil menata politik dalam negeri,
politik luar negeri pun dimantapkan dan diaktifkan, seperti dengan mengadakan
perjanjian damai dengan kaum Yahudi Madinah dan sekitarnya dan dengan kaum
Nasrani Najran; demikian pula dengan pengiriman-pengiriman duta-duta ke luar
negeri seperti Yaman, Persia, Mesir, Bizantium dan lain-lainnya yang selain
pengemban tugas agama juga tugas politik bahwa Islam adalah agama damai,
masyarakat Islam adalah masyarakat cinta damai dan perdamaian abadi adalah
cita-cita politik Islam
Dalam pengemban dan menata kehidupan politik
masyarakat, Rasulullah tidak semata-mata mengandalkan kebijakan beliau,
melainkan beliau dukung, perkuatan dan permantapan dengan berpuasa, beribadat
dan memohon doa Allah. Puasa bagi beliau merupakan tambahan modal rohaniah dan
mental, kejernihan hati dan pikiran dan suburnya kehendak untuk berbuat banyak
untuk masyarakat. Puasa beliau jadikan sebagai “jannah” untuk perisai, pelindung dan pembenteng diri dari musuh
yang tidak tampak maupun musuh yang tampak. Dengan larangan berkata kotor atau
memancing permusuhan maupun larangan bersikap dan berbuat yang memancing
perbantahan dan kekacauan, semua itu telah merupakan sikap politik juga bahwa
kita sebenarnya cinta kerukunan, perdamaian dan persatuan yang utuh. Bahkan dalam
satu hadist Rasulullah disebutkan bila ada orang, golongan atau masyarakat yang
menantang bermusuhan, bertikai dan berperang, kita agar berkata: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Dalam bulan puasa saat kita berpuasa Ramadhan, bukan
saja syetan yang terbelenggu, melainkan kita dan orang lain pun perlu
terbelenggu dari kegemaran dari berbuat kekacauan, kerusakan dan kebinasaan
dalam masyarakat dan Negara kita. Dalam kondisi masyarakat yang tertib dan
damai, kita berkesempatak meningkatkan amal kebajikan untuk masyarakat dan
Negara.
Puasa dengan motif, tendensi atau tujuan politik
bukan praktik baru atau mengada-ada sejak dulu hingga sekarang. Kita ingat
misalnya Terence Mac Swiney, seorang pangeran muda dari Cork (Inggris) yang
sengaja berpuasa unruk tujuan politik. Mahatma Gandhi, pemimpin kemerdekaan
India biasa dan berulang kali melakukan puasa untuk
tujuan politik bagi kemerdekaan India. Zulfikar Ali Bhutton ketika berada dalam
penjara dan sebelum dihukum gantung banyak berpuasa untuk tujuan politik dan
sebagai protes terhadap perlakuan penguasa Pakistan yang tengah berkuasa
setelah dia terguling. Imam Ayatullah Rahullah Khumaini memerintahkan rakyat
Iran berpuasa selama 5 hari untuk tujuan politik, untuk kemenangan revolusi
Iran, kemerdekaan politik dan untuk kestabilan Negara.
Sekalipun kita berpuasa Ramadhan semata-mata sebagai
ibadah, perintah Allah dan pelaksanaan agama, tetapi keberkahannya demikian
besar terhadap pemikiran, gagasan dan kebijakan politik. Hal itu bukan hal
baru, tetapi hal lama juga yang dapat kita perhatikan dari pengalaman sejarah
umat Islam khususnya. Sejak masa Rasulullah hingga kurun-kurun terakhir
misalnya, kita mencatat banyak peristiwa dan tugas penting yang terjadi pada
bulan Ramadhan, baik itu kebetulan ataupun mungkin disengaja.
Pada bulan Ramadhan IX Hijriyah, Rasulullah menerima
utusan dari Thaif untuk menyatakan diri memeluk Islam, tunduk kepada beliau dan
mengakui pemerintaj beliau di Madinah dan pemerintah atas mereka. Pada bulan
dan tahun itu juga dating utusan raja-raja di daerah Himyar untuk menyatakan
masuk Islam, menyatakan tunduk dan mengakui pemerintah Rasulullah. Beliau pun
sangat menghormati dan melindungi mereka serta memberikan surat kepercayaan
yang penting, yang pada kemudian dinilai sebagai surat penting. Pada tahun
berikutnya pada bulan Ramadhan juga Rasulullah mengutus Ali bin Abi Thallib ke
Yaman, dengan membawa surat penting dari beliau untuk penduduk Yaman, yang
menjadikan mereka seluruhnya memeluk Islam, menyatakan tunduk kepada Rasulullah
dan mengakui pemerintahan beliau di Madinah. Pada bulan Ramadhan juga Islam
berhasil berkumandang/ terpancar di Khurasan di bawah pimpinan Abu Muslim
Al-Khurasani pada masa Daulat Bani Abbasiyah. Kalaulah dapat dikatakan berkat
Ramadhan, bangsa Indonesia pada tanggal 9 Ramadhan 1365 Hijriyah berhasil
memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Kalaulah semua itu merupaka kemenangan dan
keberkaitan Ramadhan dalam aspek agama (Islam), sebenarnya terkandung juga
kemenangan politik yang besar, di mana semangat yang mendorong kepada
terwujudnya masyarakat yang kuat, stabil dan sejahtera.[13]
G.
Puasa
dari segi Ilmu Pertahanan-Keamanan
Puasa erat hubungannya dengan segi ilmu pertahanan
dan keamanan (hamkam), terutama bila kita ingat firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 183 bahwa puasa mengandung hikah, motif dan tujuan agar kita
bertakwa. terpelihara dan terjaga dari beberapa keburukan/kesejahteraan lahi,
maupun batin.
Demikian pula hadist-hadist Rasulullah banyak
menyebutkan puasa sebagai jannah (perisai,
pembenteng, pemagar, pelindung dan pengikis) diri dari amukan nafsu-nafsu jahat
yang timbul dari dalam diri maupun yang dating dari luar berupa manusia dan
kekuatan yang hendak merusak iman, jiwa dan kehidupan kita.
Rasulullah juga tidak menyia-nyiakan Ramadhan (bulan
puasa) sebagai bulan pembinaan, gembleng dan tempaan jiwa militant, memperkuat
barisan umat dan ketahanan individu maupun masyarakat/bangsa, sebagai syarat
utama bagi kejayaan agama (Islam), masyarakat dan bangsa/Negara. Seperti dengan
beliau kirim utusan (ekspedisi) yang terdiri dari orang-orang militant di bawah
pimpinan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin Haris binAbdul Muthalib ke
daerah pemukiman Yahudi disekita Madinag hingga Suriah pada awal Ramadhan tahun
pertama Hijriyah, telah membuat kaum Yahudi tidak berani mengusik umat Islam.
Hal itu diartika sebagai kesempatan bagi Rsulullah
dan umat Islam untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, mempertangguhkan
ketahanan umat dan wilayah serta sebagai persiapan membentuk kekuatan
pertahanan keamanan (hankam) menghadapi kemungkinan pecahnya
peperangan-peperangan dan timbulnya pengacauan-pengacauan dari luar.
Berbagai peristiwa perang yang terjadi pada bulan
Ramadhan menunjukan betapa besar ada rasa wajib dan tanggung jawab “hankam”
dalam tubuh umat Islam di bawah pimpinan Rasulullah.
Kita ingat Perang Badar Kubra yang meletus pada
bulan Ramadhan tahun II hijriyah (ketika Ayat Shaum baru turun) perang tersebut
memakan waktu lebih/kurang 17 hari, dengan kemenangan di pihak pasukan muslimin
di bawah pimpinan langsung Rasulullah.
Pada tahun III Hijriyah kembali pasukan muslimin
terlibat perang dibukut Uhud melawan musuh yang sama ketika Perang Badar yakni
pasukan musyrikin Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Perang Uhud itu
pun terjadi pada bulan syawal(tanggal 7) tetapi persiapan perang dan pengaturan
strategi/taktik telah dimulai sejak bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan tahun V
Hijriyah disusun persiapan perang menghadapi Perang Khandaq, walaupun perang
itu terjadi pada bulan Syawal tahun itu juga.
Pada akhir Ramadhan tahun VIII Hijriyah Rasulullah
mempersiapkan kekuatan muslim untuk menaklukan kota Makkah, pada saat beliau
menerima wahyu dari Allah yang merupakan kabar gembira bagi beliau dan kaum
musllimin tentang kemenangan besar yang akan diperoleh berupak takluknya kota
itu. Kemenangan itu merupakan kenyataan. Pada bulan Ramadhan itu Rasulullah
berhasil memasuki kota Makkah, dan beliau berkesempatan untuk menghancurkan
patungan-berhala Latta, tanda permulaan hancurnya kebatilan dan datangnya
kebenaran (haq).
Beliau kemudian memerintahkan Khalid bin Walid untuk
menghancurkan patung berhala Uzza, Amr bin Ash menghancurkan Suwa’, sa’ad bin
Zaid menghancurkan Manat. Dengan kemenangan itu berarti makin kokohnya Islam
dan makin kuatnya pemerintah dan masyarakat muslimin yang berpusat di Madinah.
Pada bulan Ramadhan tahun IX Hijriyah meletus pula Perang Tabuk dan pada bulan
itu juga Rasulullah memperoleh kemenangan besar atas pasukan Romawi Timur.
Kita ingat juga ketika pada bulan Ramadhan tahun 53
Hijriyah pasukan Islam memperoleh kemenangan dalam penaklukan semenanjung
Rodes. Pada bulan Ramadhan tahun 92 Hijriyah kaum (pasukan) muslimin berhasil
mendarat di pantai selatan Andalusia di bawa pimpinan Thariq bin Ziyad dan pada
tahun berikutnya pada bulan Ramadhan Thariq berhasil mengalahkan Raja Fredik
dalam peperangan yang dahsyat.
Pada bulan Ramadhan tahun 361 Hijriyah Shalahuddin
Al-Ayubi berhasil mengahncurkan pasukan Ricard si Hati Singa dalam Perang
Salib. Pasukan Shalahuddin mengunngatkan tentang perlunya beristirahat karena
bulan puasa, tetapi dia menginginkan mempersingkat perang, karena khawatir
ajalnya akan segera tiba; karena itu peperangan itu terus dilancarkan sampai
berhasil dikuasainya sejumlah benteng yang kokoh pada pertengahan Ramadhan.
Pada tahun 658 (bulan Ramadhan juga), pasukan Mamalik berhasil menghancurkan
pasukan Tatar sekaligus menggagalkan rencana mereka untuk menguasai dunia
Islam.
Kiranya bukan hal yang berlebihan bila kita
memaklumi bagaimana para pemimpin perjuangan kita dulu memanfaatkan bulan
Ramadhan sebagai bulan penggemblengan jiwa militansi para pejuang kemerdekaan
Indonesia. Pemimpin-pemimpin seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol,
Hasanuddin (Makassar), Hasannudin (Banten), Tengku Umar, Fatahillah, Zainal
Mustaf dan alin-lainnya banyak dan biasa menggunakan masjid dan memanfaatkan
bulan Ramadhan untuk membina jiwa beragama (jiwa takwa), jiwa kebangsaan dan
jiwa perjuangan para kader, santri atau anggota masyarakat muslimin tentang
arti kemerdekaan, persatuan, keberanian dan kekuatan sebagai bangsa yang
terjajah dan tertindas.
Sekarang pun setelah kita merdeka dan tengah jurang
mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang, bulan Ramadhan
merupakan bulan yang efektif untuk menggiatkan pembinaan keimanan, ketakwaan,
akhlak, kemasyarakatan dan lain sebagainya, untuk memperkuat ketahanan
individual, social dan nasional. Demikian pula puasa Ramadhan merupakan
pembentengan diri perorangan, masyarakat dan bangsa dari berbagai ancaman yang
mengancam keamanan dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.[14]
H.
Puasa
dari segi Ilmu Hukum
Puasa dalam hubungannya dengan ilmu
hukum jelas erat dan benar, baik hukum sebagai ilmu maupun sebagai system dan
aplikasi. Hubunganya dengan hukum agama jelas, puasa itu sendiri menurut hokum
Islam tidak lepas dari hokum yang lima; terutama puasa Ramadhan, puasa Nadzar,
puasa Kirafat dan puasa Qadha merupakan puasa-puasa yang wajib dilaksanakan
dengan kepatuhan (disiplin) hukum. Bahkan menurut kaidah Ushul Fiqih bahwa
“setiap perintah” (dari Allah) adalah wajib, yang berarti berdosa bila tidak
melaksanakannya.
Kalau
hukum islam diartikan sebagai syarat, aturan, kaidah atau patoakan, maka dalam
puasa itu sendiri telah terkandung hukum, aturan, syariat dan sebagainya itu.
Seperti tersebut terdahulu tentang puasa wajib maupun puasa sunat, diwajibkan
dan disunatkan kepada muslim/muslimat yang telah dewasa dan mukalaf, sebagian orang yang mendapat
beban hukum yang harus dilaksanakan dengan baik.
Dalam
ajaran puasa sebenarnya telah terkandung pengertian hukum. Karena puasa itu
sendiri telah merupakan aturan bagi manusia (muslim) yang harus ditaati dan
dilaksanakan. Sebab, puasa itu merupakan perintah dari Allah yang dicontohkan
oleh Rasul-Nya. Ia bersifat memaksa (wajib), dan mengandung tujuan yang baik.
Bagi yang tidak melaksanakannya akan mendapatkan sanksi. [15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan makalah
yang telah dibuat dapat disimpulkan bahwa:
1. puasa
adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri
dan semisal sehari penuh, dari terbitnya fajar siddiq hingga terbenamnya matahari,
dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
2. Puasa
dapat dikaji dari berbagai aspek diantaranya yaitu puasa dikaji dari aspek Ilmu
Sejarah, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Kesehatan, Psikologi,
Pertahanan-Keamanan dan Pendidikan.
3. Puasa
memiliki manfaat diantaranya dari segi Ilmu Kesehatan dan Psikologi.
B. Saran dan Kritik
Kami
mengharapkan saran dan kritik kepada para pembaca makalah demi kemajuan makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Zuhayly, W. 1998. Puasa dan Itikaf, Kajian berbagai Mahzab.
Bandung: Remaja Rosda Karya
BA,Sismona. 2000. Puasa pada
umat-umat dahulu dan sekarang. Jakarta: Republika
Ash-Shiddiqy, T.M. 2000. Pedoman Puasa. Semarang: Pustaka Rizki
Pustaka
Poerwardaminta, W. 1967. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustka
Qardawi, Y. 2000. Fiqih Puasa.
Surakarta: Era Intermedia
Syarifuddin, A. 2003. Puasa Menuju Sehat
Fisik dan Psikis. Jakarta: Gema Insan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar